Thursday, March 1, 2012

Pura Luhur Natar Sari Apuan

,
Jika umat Hindu pedek tangkil ke Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan pada saat pujawali ageng, ada sesuatu yang unik dapat disaksikan. Pura yang di-empon lima desa adat — Apuan, Jelantik, Tua, Bunutin dan Pinge — itu dikenal sebagai kahyangan tempat nunas pasupati tapakan barong. Maka ketika berlangsung pujawali — yang jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Wuku Krulut Tumpek Krulut (setahun sekali) — puluhan tapakan barong lunga ke pura tersebut. Barong yang menjadi sungsungan umat Hindu di lima kabupaten di Bali itu datang mengikuti prosesi katuran tengah malam, dan sebagian di antaranya masolah. Apalagi yang unik di kahyangan jagat itu?
Pura Natar Sari terletak di perkampungan — Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, sekitar 40 km utara Denpasar. Di pura ini terdapat pelawatan Ida Batara sejenis wayang wong yang memakai figur dan topeng wayang seperti Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Anila dan dua punakawan Sangut dan Delem. Figur-figur pelawatan itu berjumlah sembilan.
Dalam Purana Pura Luhur Natar Sari yang ditulis K. Sudarsana dan I Wayan Widarsana, S.Sos. disebutkan, tapakan berjumlah sembilan itu disebut Nawa Sangga atau Gunung Sia adalah perwujudan atau manifestasi Tuhan dalam bentuk Dewata Nawa Sangga yang disimbolkan dengan tokoh pewayangan.
* Anoman, warnanya putih merupakan perlambang Dewa Iswara bersenjata bajra.
* Anggada, warnanya dadu merupakan perwujudan Sang Hyang Maheswara.
* Singajnana warnanya merah lambang Dewa Brahma.
* Sugriwa warnanya jingga perlambang Dewa Rudra,
* Sangut atau Ratu Ngurah Ketut warnanya kuning perlambang Dewa Mahadewa.
* Anila warnanya hijau perlambang Dewa Sangkara.
* Delem atau Ratu Ngurah Made warnanya kehitam-hitaman perwujudan Dewa Wisnu.
* Sempati warnanya abu-abu perlambang Dewa Sambu dan
* Rahwana atau Ratu Ngurah Sakti Ngawa Rat dengan warna mancawarna perwujudan Dewa Siwa.
Pewayangan Ida Batara tersebut merupakan manifestasi Sang Hyang Siwa Pasupati — Tuhan Yang Mahakuasa.
Di pura yang satu areal dengan Pura Puseh Desa Adat Apuan dan Jelantik ini terdapat sejumlah pelinggih. Pelinggih yang digunakan untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa adalah Padmasana (Padma Lingga). Padmasana tinggi besar itu berdiri menghadap ke selatan, berdampingan dengan Padma Tiga dan Gedong Simpen. Di atas Padmasana ditempatkan sebuah batu hitam berisi tapak tangan (kara tala). Di utamaning mandala pura juga terdapat pelinggih Padma Tiga, pesimpangan Pura Dalem Peed, pesimpangan Pura Batu Bolong, Pesimpangan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Ulun Danu, Pesimpangan Pura Jati dan sebagainya. Pelingih lainnya berupa Papelik, Gedong Simpen, Bale Pawedan, Bale Pemayasan, Meru Tumpang Tiga, Panglurah, dan sejumlah Bale Paruman.
Pura Luhur Natar Sari memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa (juga di wilayah Kecamatan Baturiti). Pura Pucak Padang Dawa merupakan payogan Ida Batara yang distanakan di Pura Luhur Natar Sari. Atau, Pura Natar Sari merupakan penataran dari Pura Pucak Padang Dawa. Hal itu dikuatkan oleh uger-uger atau bukti-bukti di antaranya, jika tapakan Ida Batara Pura Natar Sari akan melancaran/ lunga/ ngunya ke jaba kuta, pertama-tama mesti makolem — napak pertiwi/ mayasa di payogan Ida Batara di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Bukti lainnya, pemangku Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa dan pemangku Pura Dalem Purwa Pucak Padang Dawa berasal dari Apuan. Apit lawang pada kebanyakan pura di Bali berupa pelinggih, namun di Pura Pucak Padang Dawa berupa manusia hidup yang berasal dari Desa Apuan — yang pratisentana-nya masih ada sampai sekarang.
Bukti lainnya, pada saat pujawali ageng di Pura Luhur Natar Sari, wajib ngunggahang upakara (banten) di Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa. Selain memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Luhur Natar Sari juga terkait dengan Pura-pura lain. Misalnya:
* Pura Pucak Peninjauan di Banjar Tampakkarang Apuan,
* Pura Bakungan di Banjar Uma Poh,Desa Bangli-Baturiti,
* Pura Pucak Sari Nadi-Baturiti,
* Pura Batu Lumbang di Desa Sandan-Baturiti,
* Pura Bukit Sari Baturiti,
* Pura Gunung Lebah di Banjar Tegeh-Angseri,
* Pura Paruman di Belayu-Marga,
* Pura Puser Tasik-Marga,
* Pura Batu Bolong Canggu-Badung,
* Pura Pucak Sangkur di Candi Kuning, dan
* Pura Dalem Peed-Klungkung.
Pura Natar Sari terkait pula dengan
* Pura Pucak Anyar–
* Pesimpangan Pura Pucak Pengungangan-Baturiti,
* Pura Taman Sari di Banjar Apit Yeh-Baturiti,
* Pura Jemeng di Banjar Pinge-Marga,
* Pura Purusadha (Pura Sada) Kapal-Badung,
* Pura Bukit Gede Poyan Luwus-Baturiti,
* Pura Panti Apuan,
* Pura Bencuing-Kukub-Perean,
* Pura Pucak Tinggan-Angseri Tabanan,
* Pura Penataran di Banjar Sandan-Baturiti,
* Pura Taman Ayun-Mengwi Badung,
* Pura Tri Kahyangan Desa Adat Apuan-Jelantik Baturiti Tabanan,
* Pura Bukit Sari Apuan Tabanan,
* Pura Puseh Desa Adat Tua-Marga Tabanan,
* Pura Pucak Rinjani-Baturiti Tabanan,
* Pura Jati, Batur, Kintamani-Bangli,
* Pura Campuan Ubud-Gianyar,
* Pura Kekeran Manik Gunung,
* Pura Katik Lantang Ubud Gianyar, dan
* Pura Puseh Gelagah-Marga Tabanan.
Tahun 2004 di Pura ini sempat digelar Karya Agung Mamungkah lan Ngenteg Linggih mengambil tingkatan utamaning utama. Pujawali di Kahyangan Jagat yang bertepatan dengan rerahinan Tumpek Krulut ini, selalu ngerawuhin barong dalam jumlah yang banyak. Demikian pula pada pujawali Sabtu (8 maret 2008) lalu, 27 tapakan barong yang menjadi sungsungan ribuan umat Hindu di lima kabupaten — Tabanan, Gianyar, Badung, Bangli dan Jembrana — hadir mengikuti prosesi upacara yang dalam bahasa umat setempat disebut katuran.
Dalam prosesi katuran, seluruh Tapakan Ratu Gede napak pertiwi. Sesuhunan di Pura Luhur Natar Sari — Ida Batara Nawa Sanga dan semua Tapakan Ratu Gede — diturunkan dari Bale Paruman, Bale Tiang Sanga dan Bale Pemayasan guna napak pertiwi. Para penyungsung mundut Ida Batara selama upacara katuran yang berlangsung sekitar dua jam. Para pamedek saling bergantian mundut Ida Batara, menambah eratnya rasa persaudaraan (penyamabrayan). Para pemangku dari berbagai desa pakraman bahu-membahu ngaturang ayah. Mereka mengantarkan umat ngaturang bakti ke hadapan Hyang Widi, guna memohon kerahayuan jagat.
Setelah katuran selesai Ida Tapakan Ratu Gede kembali distanakan di Bale Paruman. Beberapa di antaranya lalu dipentaskan (masolah). Para pamedek sama-sama menyaksikan pergelaran tari wali tersebut.
Prosesi ritual seperti itu sesungguhnya berdimensi religius sekaligus sosial-budaya. Artinya, masyarakat Hindu dari berbagai daerah selain terlibat dalam proses ritual dalam rangka memohon kerahayuan jagat, juga menyatu dalam kebersamaan, mempererat tali kekerabatan, berinteraksi membangun kesadaran beragama dan melestarikan budaya.

PURA PUCAK MANGU – PELAGA

,
Catatan tertulis secara akurat mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada beberapa petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan itupun samar. Namun catatan para orang leluhur orang Bali sangat berarti bagi kehidupan masa sekarang dalam rangka mencermati keberadaan pura-pura di pulau Bali yang banyaknya ribuan. Pura Pucak Mangu sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang. Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.

Letak Geografis
Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar yang beriklim normal, curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan temperature rata-rata 24,2 derajat celcius. Kelemababan rata-rata 92,5 %, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar dengan penyinaran 65%. Untuk pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan, angka-angka klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. Pemilihan lokasi pura, pemukiman pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda dengan nalar sain dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan berbentuk arsitektur, pemakaian bahan dan pertimbangan orientasi, dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi juga sirkulasi dan sirkulasi dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada angka-angka basement geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang alam dari lokasi terpilih.
Potensi Pura Pucak Mangu
Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :
a. Struktur Bangunan
Pura Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat di Bali yang didirikan sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya didasarkan pada konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu jaba sisi ( halaman luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan ( halaman dalam ) dengan struktur bangunan khas Bali. Palebahan pura yang paling timur adalah sthana Ida Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana di bawahnya terdapat batu berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran paling besar. Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.
Selanjutnya palebahan di sebelah baratnya berupa Meru Tumpang Sebelas sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan ini sedikit terpisah dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di daratan. Palebahan ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci dengan pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate Bang. Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Sangkur dan sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. Palinggih yang lain adalah jajaran kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung, Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan Saluang, Gedong beratap pane, lima buah gedong lainnya, sejumlah balai yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit, Bale Papelik, Bale Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan keempat berada di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem Purwa.
b. Adat-istiadat
Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan biasanya diiringi dengan tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris gede, wayang lemah.
c. Potensi Flora
Pura Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan hutan lindung yang kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak di kawasan puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut. Kesuburan dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun hidupnya. Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur lintasan setapak dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai berikut seprti anggrek, talas sembung, tedted, paku jukut (sayur), buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan berbagai jenis tumbuhan jalar dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi termasuk tanaman kopi, cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.
b. Potensi Fauna
Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal

Pura Lempuyang Luhur

,
Pura Hindu di Bali merupakan manifestasi dari penyembahan terhadap para dewa-dewi yang dipercaya bisa mendatangkan hal positif bagi manusia. Peran dan fungsi sebuah pura di Bali menjadi berganda, yakni sebagai tempat untuk memuja, bersembahyang sekaligus juga sebagai tempat berwisata. Salah satunya yakni Pura Lempuyang yang berada di belahan timur Pulau Bali.
 Pura Lempuyang merupakan pura yang paling tua di Bali. Dalam konsepsi Dewata Nawa Sanga atau Sembilan Dewa penguasa sembilan mata angin, pura ini merupakan Sthana Dewa Iswara. Pura Lempuyang sendiri terbagi dalam tiga mandala yaitu Lempuyang Sor, Lempuyang Madya dan Lempuyang Luhur. Berdasarkan lontar Markandeya Purana, Pura Lempuyang didirikan oleh Rsi Markandeya sekitar abad ke-8 M. Pada saat itu Rsi Markandeya membuat sebuah pesantrian untuk keperluan persembahyangan sekaligus membabarkan ajaran Hindu.Pesantrian tersebut diperkirakan berada pada lokasi Pura Lempuyang Madya saat ini, di mana di sini beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya.
     Aspek kesejarahan pura ini menjadi sukar diungkap karena data-data yang kuat sukar untuk ditemukan. Namun sejauh ini ada dua hal yang penting menyangkut Pura Lempuyang ini yakni Gunung Lempuyang dan Sang Hyang Gnijaya. Arti kata “Lempuyang” sendiri dalam terminologi Jawa berarti Gunung Gamongan. Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa Pura Lempuyang merupakan salah satu dari tiga pura besar selain Besakih dan Pura Ulun Danu Batur.

Sunday, February 12, 2012

Pura Hindu bali diresmikan di kota Hamburg

,
Dengan dukungan KJRI Hamburg Umat Hindu Bali di Jerman (Nyama Braya Bali)  telah merayakan peresmian (pemlaspasan) pura Hindu Bali di kota Hamburg di saat perayaan Kuningan yang jatuh pada hari Sabtu 22 Mei 2010.
Nyama Braya Bali, Tempek Hamburg akan menjadi tuan rumah bagi Nyama Braya Bali Jerman pada khususnya dan umat Hindu Dharma Eropa pada umumnya. Acara  diselenggarakan di area Museum Etnologi (Völkerkundemuseum) Hamburg, tempat terletaknya pura tersebut.
Seperti layaknya pembangunan sebuah Pura di Indonesia, pembangunan Pura di area museum Völkerkunde di bangun dengan aturan yang memenuhi semua standar keagamaan, sehingga bangunan Pura yang diwujudkan tidak hanya menampilkan sebuah bangunan dengan nilai seni semata melainkan juga memiliki nilai spiritual yang memenuhi fungsi keagamaan sebagai sebuah Pura tempat pemujaan kepada Tuhan yang Mahaesa. Dengan berdirinya pura Hindu Bali yang memang bersifat terbuka, diharapkan juga akan meningkatkan dialog budaya antara Indonesia dan Jerman maupun dialog antar umat beragama.
Pura Bali di Hamburg merupakan pura Bali pertama di Jerman dan satu-satunya Pura Bali yang dapat diakses secara umum di Eropa.
Pembangunan Pura tersebut terwujud berkat inisiatif dari Luh Gede Juli Wirahmini Biesterfeld. Juli telah mengorganisasikan pembelian bahan bangunan Pura di Bali, pengirimannya dari Bali dan proses pembangunan di Hamburg, hingga selesai pada akhir tahun 2009. Sebelum bisa digunakan perlu ada upacara pemlaspasan yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei tersebut.
Upacara dimulai jam 09.30 dipimpin oleh Ida Bhagawan Dwija. Kedatangan tamu undangan dijadwalkan jam 12:00 dilanjutkan dengan makan siang. Selain upacara agama, acara Pemlaspasan pura dan perayaan hari raya Kuningan juga akan digunakan untuk mempromosikan pariwisata Indonesia melalui penampilan seni budaya Bali. Acara Hiburan tersebut yang diisi dengan tarian dan musik Bali akan dimulai sekitar jam 15:00.
Hamburg, 11 Mei 2010
Sumber : KJRI Hamburg

Pura Hindu di Belgia

,
Pura Hindu di Belgia
Melihat foto-foto diatas, dengan suhu udara yang dingin dan berkabut seakan mengingatkan kita akan Pura Gelap di Besakih yang keseluruhan bangunan phisik Puranya terbuat dari Paras Batu. Namun kalau di amati lebih detail, Pura diatas tidaklah berlokasi di Bali atau di daerah Indonesia lainnya melainkan berlokasi di daratan Eropa yaitu di negeri Belgia !


 
Sungguh anugrah luar biasa dari Ida Sang Hyang Widi Wasa yang di berikan kepada kita semua khususnya umat hindu yang ada di Europa. Sebuah Pura yang di bangun di tengah lokasi wisata taman burung yang luasnya 55 hektar, di dirikan oleh orang belgia yang bernama ERIC DOMB. adapun alasan beliau mendirikan Pura tersebut dikarenakan kecintaannya yang sangat luar biasa akan bali. Proses pembuatan Pura tersebut memang dilakukan secara bertahap dimana tahun lalu 30 orang Bali secara khusus didatangkan dari Bali ke Belgia untuk membangun Pura tersebut. Mereka datang bulan agustus sampai januari, dan melanjutkan pekerjaannya dari april 2008 hingga agustus 2008! Bahan-bahan khusus seperti paras batu , kayu jati, raab duk, yang diperlukan untuk pembangunan Pura didatangkan langsung dari Bali sampai 300 Container ! sungguh luar biasa dan sangat mengharukan melihat perjuangan orang-orang yang terlibat “ngayah” dalam penegakan Sanatana Dharma di bumi Eropa. Upacara pemlaspasan “ngenteg linggih pura ini memang belum di laksanakan, saya yakin masyarakat Hindu Bali atau Hindu Nusantara yang berdomisili di Eropa, seperti Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, akan berbondong-bondong “tangkil” untuk melakukan persembahyangan bersama, disamping tentunya untuk melepas kerinduan akan dentingan suara Genta Pandita dan melepas kangen bertemu nyama brya bali di seluruh negeri Eropa.


Selain di Belgia, sekolompok masyarakat Bali yang merantau di negeri Jerman yang tergabung dalam banjar “Nyama Braya Bali” juga akan mendirikan Pura Jagadnata di kota Hamburg, yang pembangunannya akan di mulai setelah musim Winter berakhir yaitu sekitar bulan February 2009. dimana proses upacara yang di kenal dengan istilah “nanem Pedagingan” yaitu peletakan seperangkat sarana upacara tanda akan mulai didirikannya bangunan Pura telah dilaksanakan ketika merayakan hari raya Kuningan di bulan September 2008 kemaren. Seperti juga di Belgia, pembangunan Pura di kota Hamburg juga di biayai oleh orang lokal Jerman, yang tidak ingin di kenali namanya. Karena ikatan batin serta kecintaannya akan Bali yang sangat mendalam setelah mengunjungi pulau Bali dengan agama Hindunya, beliau merasa terpanggil untuk mewujudkan Pura Jagadnata di negeri Jerman. ibu kelian banjar NBB (Nyama Braya Bali) di Jerman yaitu Ibu Agung Aryani, sesungguhnya sudah juga mendirikan Pura (mrajan) di pekarangan rumahnya di kota Hannover, yang upacara pemlaspasan Pura Padmasari nya dilaksanakan ketika hari raya Saraswati di awal tahun 2008 kemaren.
Ida Sang Hyang Widi Wasa memang ada dimana-mana dan kapan saja (Wyapi Wyapaka). Semoga dengan keberadaan Pura-Pura di berbagai kota di daratan Eropa ini bisa membangkitkan rasa percaya diri kita semua serta meningkatkan keyakinan kita akan Sanatana Dharma Hindu dimanapun berada. Keberadaan Pura di Eropa sungguh sangat membantu mengobati kerinduan masyarakat Bali yang merantau di Eropa akan tempat kelahiran, tanah leluhur serta sanak saudara nun jauh di Bali.
sebagai penutup dari artikel ini, sekiranya ada pembaca artikel ini yang memiliki kesempatan untuk mengunjungi Eropa pada umumnya atau negara Belgia pada khususnya, jangan lupa untuk “tangkil” mebakti di Pura yang berlokasi di Belgia ini. Persisnya berlokasi di daerah perbatasan antara Belgia dengan Perancis yaitu di Parc Paradisio, Domaine de Cambron 1, 7940 Brugelette, Belgium. suksme.
gambar-gambar diatas saya pinjam dari semeton kita yang berdomisili di Belgia: http://yurana.multiply.com/photos/album/15/Balinese_Hindu_Temple_in_Belgium

 

arika's blog Copyright © 2011 | Template design by O Pregador | Powered by Blogger Templates